Biasakno..kulinakno..omongmu podho karo karepe atimu

23/03/10

..Bayiku , Saat itu dan Sekarang...

AdeQ yang dkmpung sms : cak kpn pulang? Gak pngn lihat ponakan’e ta? emak kangen..tiap malam mikirno pean trus..klo liburan cepet pulang yo?

Ya mau di mana saja qt bertempat, di bumi mana saja qt berteduh, di belahan mana saja qt merantau..kampung halaman selalu saja menjadi tempat yg dirindu, termasuk kampungQ , I Miss U..akhirnya 15 februari kmrn kuobati rinduku.

Ada suasana beda dalam rumahQ saat itu, ada makhluk baru..dialah ponakanku, yang telah aq kasih “nama “ sebulan yang lalu. Memang dari 11 nama ponakanku, 9 diantaranya adalah hasil karyaku. Ketika aq lihat wajah sang bayi itu ada rasa tentram, menyenangkan, tangisnya membelai kalbu, mukanya bersih, segala tingkanya bahkan saat kencing dan berakpun tak melukai kalbu. Mesti kesadaran belum tumbuh, akal pikirannya belum optimal, tetapi kehadiran bayi selalu mengundang suasana damai.

Aq mulai mikir, mngkin aq dlu jg begitu,,aq begitu menyenangkan saat itu.lmajinasiku mulai berjalan...(mulai gedabrus...)

Ketika bayi sudah dapat berjalan dan berlari..tingkahnya lucu dan polos. Fitrah masih tampak dalam dirinya. Kadang dia bertengkar dgn tmnnya, tp sebentar sudah reda, tanpa dendam. Kalau dia gembira, jelas tampak di raut wajahnya. Kalau sedih atau ngambek jg terlihat di wajahnya. Tak ada yang ditutupi. Meski terkadang tingkahnya terlalu aktif dan menghawatirkan, tp tetap saja menyenangkan.ya maklum belum dewasa, kesadaranya memang belum ditunjang dg akal pikiran yang sempurna. Mungkin itu gmbaranku saat aq msh kecil, menyenangkan bagi siapa saja yang memandangku, tapi sekarang?

Ketika si kecil beranjak remaja. Apa yang didengar, dilihat dan dilakukan terekam olehnya. Kebiasaan-kebiasaannya membentuk sikap. Kesadaran dan pikirannya semakin tumbuh. Ilmunya semakin banyak. Pengalaman hidupnya semakin matang. Kalau semua dihitung dengan rupiah, entah berapa biaya yg telah dihabiskan. Berapa liter oksigen telah dihirup? Berapa liter beras dan air telah dikonsumsi?jika pada mulanya anak manusia yang bersih dan menyenangkan, setelah menghabiskan biaya yg tak terhitung itu, masihkah dia tetap menyenangkan orang sekelilingnya?masihkah dia dirindukan dan dikasihi? tingkahnya gak melukai hati?brp bnyk kebajikan yg tlh diperbuatnya?atau brp besar kbrukan menggelayuti jiwanya?????

03/08/09

Modernisasi Pesantren, Antara Tuntutan dan Ancaman

Pondok pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakul karimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Lembaga yang asli made in Nusantara ini telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang kokoh, mandiri, dan diakui oleh dunia. Dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, terutama pada masa perjuangan kemerdekaan, masyarakat pesantren, santri dan ulama merupakan salah satu ujung tombak pergerakan melawan penjajah. Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, misalnya, kaum ulama mengeluarkan Resolusi Jihad yang disuarakan oleh KH Hasyim Asy’ari sehingga umat Islam bangkit melawan penjajah dengan perhitungan mati syahid. Di Aceh, kaum ulama yang sebagiannya juga tokoh tarekat mempelopori perang melawan penjajah pada masa dulu. Hikayat Prang Sabi merupakan syair yang digubah para ulama Aceh untuk mengobarkan semangat jihad dan mati syahid bagi rakyat Aceh dalam mengusir kaum kaphe (kafir) atau penjajah. Setelah ratusan tahun, pesantren kini dikucilkan. Akibat sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren, santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan. Masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan. Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini lulusan pesantren diharapkan dapat banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dilatarbelakangi hal itu, klasifikasi pesantren menjadi berubah. Dulu, mungkin kita hanya mengenal satu buah pesantren, pesantren dengan sistem salaf. Pesantren yang mempunyai manajemen dan administrasi pesantren sangat sederhana, dengan sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan kiai yang diterjemahkan oleh pengurus pesantren. Tercatat sekitar 8.905 pesantren salaf ada di Indonesia. Itu dulu. Kini ada pesantren khalaf (modern), seperti pesantren Hayatan Thayyibah (Sukabumi), Darul-Ulum (Bogor), Husnul-Khotimah (Kuningan, Jawa Barat), Darunnajah dan Darurrahman (Jakarta), Darussalam Gontor (Ponorogo, Jawa Timur), al-Mu’min (Ngruki), as-Salam, al-Zaitun (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Thawalib-Padang Panjang (Sumatera Barat), dan lain-lain. Pesantren khalaf bercirikan, 1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; 2) tidak terikat atau tersentral pada figur kiai; 3) memiliki pola dan sistem pendidikan modern dengan perpaduan kurikulum antara mata pelajaran berbasis ilmu agama dan mata pelajaran berbasis pengetahuan umum. Di Indonesia, pesantren jenis khalaf ini tidak banyak. Jumlahnya sekitar 878 pesantren. Lalu ada juga pesantren terpadu. Pesantren yang ini bertipe semi salaf sekaligus semi khalaf, seperti pesantren Tebuireng-Jombang (Jawa Timur) dan Mathali'ul Falah-Kajen (Jawa Tengah). Pesantren terpadu ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kiai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren. Di Indonesia, jumlah pesantren tipe ini sekitar 4.284 buah. Pesantren khalaf mengubah kurikulum tradisional dan beranjak pada suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Sederhananya, para santri mereka kini tidak hanya diajari kitab kuning dan bahasa arab saja, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif (proses mengetahui yang serba ragam persepsi, mengingat, membayangkan, memperhatikan, menimbang dan berlogika), afektif (suasana hati, emosi) dan normatif (memegang teguh pada perilaku yang pantas) yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Perpaduan semacam itulah yang sekarang diminati oleh sebagian masyarakat. Mereka tidak lagi setuju pada konsep kurikulum yang hanya berorientasi pada penjernihan suasana hati dan penjagaan norma kemasyarakatan. Padahal, dalam perkembangannya terjadi perubahan signifikan pada proses modernisasi pesantren ini. Terjadi kesenjangan –ketidakseimbangan- paradigma, kerangka berpikir, antara aliran tradisional dan modern yang terkadang melahirkan konflik khilafiyah yang kontraproduktif. Aliran modernis menuntut persinggungan yang intens dengan teknologi dan perkembangan informasi sehingga pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning –dinisbatkan pada aliran tradisional– menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keaslian dalil-dalil yang ada. Sehingga –menurut sebagian masyarakat- karakter yang terbina dari pesantren salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha mempertahankan keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim. Pandangan semacam itu, mungkin mereka peroleh akibat banyaknya kasus teror (bom) dan kekerasan yang melibatkan sebagian kecil santri Indonesia, ataupun juga karena pengaruh penilaian para pemikir asing yang mengatakan pesantren di Indonesia hanya tempat perkaderan muslim fundamental. Intelektual Barat memahami madrasah di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Barat sama dengan madrasah-madrasah Timur tengah. Padahal seperti yang kita ketahui, di Indonesia sebuah madrasah berbeda dengan pesantren. Sedang masalah keterlibatan beberapa santri Indonesia dalam kasus teror (bom) dan kekerasan belakangan ini, disinyalir karena "ideologi" impor, bukan produk asli pesantren Indonesia yang cenderung kultural. Dalam prosesnya, hal ini mengakibatkan suatu efek pendulum yang melahirkan ekstrem baru, yakni paradigma liberalis kebarat-baratan. Ekstrem antikonservatif –golongan santri tradisional yang bertransformasi menjadi liberalis kebarat-baratan– ini telah muak berada pada kejumudan yang dirasakanya selama mondok atau belajar di pondok pesantren. Sehingga ketika ia melihat suatu ideologi kebebasan di luar lingkungannya, terjadi euforia yang berdampak pada ‘banting setir’ paradigma. Faktor terlahirnya ekstrim baru ini adalah proses modernisasi santri tanpa disertai bekal ruhiyah yang kuat dan mendalam. Sehingga para santri menjadi terlalu permisif -memperbolehkan- terhadap ideologi lain dan dengan mudahnya mengesampingkan ideologi Islam yang selama ini ia pahami. Fenomena inilah yang ditakutkan oleh pesantren salaf, ketika dia harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat. Betapa banyak kalangan santri yang berubah jadi nyeleneh setelah mengenal ideologi-ideologi yang berkembang di belahan dunia Barat. Beberapa santri yang sudah lulus pesantren kemudian dibiayai kuliahnya ke luar negeri untuk mempelajari teologi Islam, malah balik menentang ideologi yang bertahun-tahun mereka dapati di pondok dulu. Paradigma moderat dan open minded yang diharapkan dari seorang santri modern bagai api jauh dari panggang. Sepak terjang mereka kini malah jauh lebih kontraproduktif bahkan menyesatkan bagi muslim-muslim abangan. Amanat orisinalitas ideologi Islam yang dulu mereka emban bertransformasi menjadi sinkrotisme yang menyesatkan. Kondisi memprihatinkan inilah yang tengah dihadapi belantara Islam. Di satu sisi masyarakat menginginkan perubahan dalam diri pesantren. Namun ketika sebagian pesantren berubah, banyak yang tidak setuju bahkan kecewa dengan outputnya, mondok bukannya jadi bener malah klenger. Maka bagaimana ia dapat berkontribusi positif bagi agamanya, ketika realitanya ia berbalik menentang ideologi ini. Kalau kita telisik, faktor utama penyebab efek pendulum ini adalah penanaman bekal ruhiyah yang kurang mendalam. Pesantren masa kini tampaknya secara mendasar berupaya memberikan pembekalan keterampilan atau spesifikasi pada para santrinya yang akan terjun ke masyarakat. Di beberapa pesantren, berbagai bidang keahlian dapat dipilih oleh para santri sesuai minatnya, seperti pendidikan guru, pertanian, perikanan, kerajinan, dan lain-lain. Hal ini dapat dianggap sebagai negosiasi pesantren terhadap nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat akibat kemajuan ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Padahal, dengan teknologi pula perubahan menjadi nyleneh akibat mengenal ideologi-ideologi di belahan dunia Barat dapat terjadi. Taruhlah internet. Banyak pesantren modern mengesampingkan aspek ruhiyah, lembaga ini seakan lupa tujuan pertama sebuah pembelajaran, taqarrub ilallah. Maka menjadi suatu pengalaman berharga bagi para pengasuh pesantren modern, bila tidak ingin santri-santrinya hanya memahami ajaran Islam kulitnya saja, untuk lebih memperhatikan masalah ini. Menurut Muhammad Ali, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, “Menghadapi era Teknologi Informasi (TI) seperti sekarang ini, santri harus menguasai teknologi. Santri tidak boleh gagap teknologi. Pasalnya, bila tertinggal dalam penguasaan teknologi, akan ditinggal juga,” ketika ia memberikan sambutan pada peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tegah, Kamis (11/12/08) lalu. Memang, sepintas apa yang ia katakan dapat dibenarkan. Namun internet tetaplah sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, internet berbahaya kalau disalahgunakan, misalnya menyangkut masalah pornografi. Namun di sisi lain, bila dipergunakan dengan baik, internet juga menawarkan peluang dan memberikan manfaat yang sangat banyak, termasuk dalam bidang dakwah. Menjadi generasi nyleneh, mungkin itulah bahaya terbesar yang dijauhi pesantren salaf. Dengan masuknya internet, berarti meresap pula ke dalamnya segala jenis pemikiran, yang ditakutkan tentunya dapat melahirkan generasi yang tidak diharapkan. Melihat tuntutan masyarakat dan faktor utama kegagalan pesantren khalaf, akibat mengesampingkan faktor ruhiyah, mestinya kekurangan ini menjadi modal yang sangat berharga bagi pesantren salaf, pesantren yang tidak mau dan tidak akan mengesampingkan faktor ruhiyah, yang emoh dengan perkembangan, untuk kembali merajut kejayaannya. Biar bagaimanapun teknologi semakin tidak bisa dipisahkan dari seseharian kita. Kegagalan memanfaatkan sebuah teknologi yang dialami oleh sebagian penikmat kemajuan, sudah waktunya tidak membuat pesantren ketakutan. Yang terpenting, bagaimana pesantren mampu untuk mempertahankan kesalafan tanpa harus terbendung segala kemajuan. Mampukah?

08/04/09

Pemimpin Berkarakter Thalut

Melalui Qs. al-Baqarah [2]: 247, Allah SWT menceritakan penolakan Bani Israil atas penunjukan Thalut sebagai pemimpin, karena ia dinilai berasal dari keluarga miskin dan bukan darah biru. Cara pandang umat saat itu (dan bahkan saat ini), masih melihat seseorang dari aspek “harta” dan “keturunan”nya. Keduanya acapkali dianggap penentu sukses kepemimpinan seseorang, dan karenanya lebih dipentingkan dari karakter kepemimpinan itu sendiri. Siapa sesungguhnya Thalut, yang hidup setelah zaman Nabi Musa AS? Menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî, Thalut adalah rajulan faqiran la nasaba lahu wa la mala (lelaki miskin, bukan keturunan darah biru dan tak berharta). (Tafsir Ibn ‘Araby, 2001, jilid I, h. 81). Dalam Tafsir al-Thabari, Ibn Jarir al-Thabari menukil riwayat dari Ikrimah menyatakan, Thalut adalah penjual air – profesi yang dianggap mewakili strata kelas bawah. Menurut al-Thabari, berdasarkan riwayat Qatadah, Thalut adalah keturunan Bunyamin, kelompok yang tidak memiliki darah kenabian dan kerajaan. Dalam tradisi Bani Israil, seorang pemimpin harus muncul dari latar belakang keturunan nabi dan raja (sabt nubuwwah wa sabt mamlakah). Itu sebabnya, ketika dua syarat ini tak terpenuhi, mereka lantas menolaknya. Dan Thalut, ditakdirkan bukan dari kelompok ini. Bani Israel pun ramai-ramai menolaknya. Mereka heran, kenapa orang “tak berharga” seperti Thalut justru dikirim sebagai pemimpin mereka. Sesungguhnya, di balik “kekurangan”nya itu, Allah SWT memberi Thalut kelebihan berupa keunggulan intelektual dan tubuh yang perkasa (basthah fi al-‘ilm wa al-jism). (Qs. al-Baqarah [2]: 247). Diceritakan al-Thabari misalnya, Thalut mendapat karunia wahyu dari Allah SWT dan memiliki ukuran tubuh tinggi-besar, ukuran yang tidak pernah dimiliki orang pada masa itu. Inilah kelebihan Thalut; berwawasan luas sebagai prasyarakat manajerial kepemimpinannya dan berfisik tangguh sebagai prasyarat keperwiraannya sekaligus simbol keberanian dan ketegasannya. Dalam kokteks Thalut, ketangguhan fisik ini tak lain untuk mengalahkan Raja Jalut yang tiran dan represif pada rakyatnya. Untuk itu, ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî menyatakan, seharusnya yang ditekankan bagi calon pemimpin adalah al-ruhaniyyah atau aspek spiritual berupa al-‘ilm (pengetahuan) dan al-badaniyyah atau aspek fisik berupa keperkasaan dan ketangguhan (ziyadah al-qawi, syiddah al-binyah/fithrah, dan al-basthah). Hal inilah yang tampaknya diabaikan Bani Israil. Mereka hanya menekankan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual (yang justeru) sebagai ruh seorang pemimpin. Karena pentingnya substansi kepemimpinan ini, tak heran jika suatu ketika seorang budak bernama Ibnu Abzi diberi amanat menggantikan sementara posisi Gubernur Makkah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab. Gubernur yang definitif, Nafi’ bin Harist al-Khuza’i, kala itu tengah keluar kota. Kenapa budak yang dipilih oleh Umar? Alasannya karena ia menguasai al-Qur’an dan Ilmu Faraidh. Penguasaan kedua hal ini melayakkannya dipilih sebagai pemimpin. Sama sekali Umar tak melirik latar belakang “harta” dan “keturunan”nya. Dari peristiwa di atas, banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran terkait prosesi pilih-memilih dan angkat-mengangkat pemimpin. Pertama, sudah menjadi “tradisi” kita menggugat atau menyoal latar belakang calon pemimpin. Baik latar belakang “harta” atau “keturunan”. Tradisi ini telah berlangsung sepanjang masa. Malah sekarang ada tambahan “tradisi baru”, yaitu menggugat ijazah/latar belakang formal pendidikannya. Yang sarjana “diyakini” lebih baik dan jaminan kesuksesan dibanding yang non-sarjana. Gugatan ini biasanya dilakukan kelompok tertentu yang tidak setuju. Lagi-lagi yang dituntut bukan yang substansi, melainkan yang sampingan. Kedua, point pokok kepemimpinan adalah basthah fi al-‘ilm wa al-jism. Tipe inilah yang berprinsip tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat). Tipe ini tak pandang agama dan latar belakang lainnya. Karenanya, Taqiyuddin bin Taimiyyah konon berpendapat, pemimpin/penguasa muslim yang zalim akan hancur, namun penguasa kafir yang adil akan langgeng. Titik tekannya “keadilan” bukan yang lainnya. Ketiga, yang tak kalah penting, kepemimpinan itu tergantung izin Allah SWT. Hanya Allah SWT lah yang bisa mengangkat dan menurunkan seseorang dari posisi pemimpin. Thalut yang ditentang habis oleh umatnya, bisa jadi pemimpin atas kehendak-Nya. Kenyataan ini sekaligus untuk mengingatkan para pemimpin, bahwa kepemimpinannya tak datang dengan sendirinya. Sebab itu, kepemimpinannya harus disadari akan dimintai-Nya pertanggungjawaban, sehingga perilaku yang tidak diridhai-Nya akan dijauhi. Keempat, berkat iman yang kokoh, komitmen, dedikasi yang tinggi, praktik hidup yang lurus, disiplin serta diiringi keridhaan Allah SWT, kelompok kecil yang dipimpin Thalut sanggup menggulingkan kelompok Jalut yang besar lagi tiran dan represif terhadap rakyat. Karenanya, tak boleh ada kesombongan pemimpin, bahwa dirinyalah yang besar dan kuat sehingga berhak sewenang-wenang pada rakyatnya. Jika bibit kesombongan ini telah muncul, maka tunggulah kehancurannya. Itulah beberapa pelajaran penting terkait terpilihnya si penjual air Thalut sebagai pemimpin. Semoga kita tidak seperti Bani Israil yang gemar menggugat calon pemimpin hanya karena tidak sesuai “selera” kita. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang berkarakter; unggul di bidang intelektual, manajerial dan tangguh. Detik demi detiknya untuk melayani umat beroleh keadilan dan kesejahteraan. Wa Allah a’lam.[]

29/03/09

HAKIKAT MAUT (Perenungan Musibah Danau Gintung)

Maut adalah sesuatu yang amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-hari bahkan ditayangkan setiap saat. Namun sosoknya, serta apa yang dilihat oleh yang mati bahkan kehadirannya, adalah rahasia yang tidak dapat terungkap kecuali bagi hamba-hamba pilihan Allah.

Aku tidak melihat sesuatu yang haq lagi pasti terjadi tetapi di anggap batil tidak bakal terjadi, seperti halnya maut. Dan tidak juga melihat sesuatu yang batil dan pasti lenyap tetapi dianggap haq dan langgeng seperti halnya dunia.

(Sayyidina Ali kw).

Kematian seakan-akan hanya ditetapkan atas selain kita. Kita bagaikan tidak mendengar adanya generasi yang lalu, atau tidak melihat apa yang terjadi bagi generasi kini. Sesungguhnya masa yang dikerat oleh detik pastilah berakhir betapapun panjangnya.

Maut adalah pemutus segala kelezatan duniawi, dia adalah pemisah sahabat dan pengeruh kenyamanan hidup orang-orang yang lalai. Ia adalah keniscayaan. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” begitu firman Allah dalam QS. an-Nisâ’ 4:78. Ia akan datang kepada kita, kendati kita berusaha lari menghindar darinya: Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. al-Jumu‘ah 62:8).

Maut adalah bayang-bayang yang muncul dalam benak manusia yang mengancam hidupnya, hidup kekasih, anak, dan sanak keluarganya.

Maut adalah sesuatu yang amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-hari bahkan ditayangkan setiap saat. Namun sosoknya, serta apa yang dilihat oleh yang mati bahkan kehadirannya, adalah rahasia yang tidak dapat terungkap kecuali bagi hamba-hamba pilihan Allah. “Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Luqmân [31]: 34).

Andaikata Anda dapat melihat apa yang dilihat oleh yang telah direnggut nyawanya oleh maut, pasti sikap dan keadaan Anda bukan seperti sekarang. Tapi yakinlah bahwa dalam waktu dekat – karena setiap yang akan datang pasti tak lama lagi – tabir maut akan dicabik-cabik sehingga Anda pun melihatnya. “Sebenarnya – kata Sayyidina Ali kw. – kepada Anda telah diperlihatkan kalau memang Anda mau melihat, kepada Anda telah diperdengarkan kalau memang Anda mau mendengar,… Anda pun telah diberi petunjuk, hanya Anda enggan memanfaatkan petunjuk itu.”

Benar kita lengah, karena “Sungguh seandainya kamu mengetahui dengan ‘ilmul yaqîn,” yakni pengetahuan yang mantap – pasti kamu berhenti lengah atau bersaing secara tidak sehat. Demi Allah jika kamu demikian itu, pasti kamu akan melihat neraka jahim dengan mata hatimu, lalu di hari Kemudian kamu akan melihatnya dengan mata kepalamu (baca QS. at-Takâtsur 102:5-6).

Keyakinan tentang kematian yang meresap di lubuk hati yang terdalam, serta gambarannya yang tampil dari saat ke saat ke pelupuk mata, itulah salah satu jaminan kewaspadaan serta peningkatan amal-amal kebajikan tanpa pamrih. Itulah yang mendorong seseorang mempersiapkan bekal untuk hidup sesudah mati. Bahkan seperti tulis Will Durant: “Maut adalah sumber semua agama, boleh jadi kalau maut tak ada maka kepercayaan kepada Tuhan pun tidak akan ada.” Karena itu pula Rasul saw. menganjurkan untuk selalu mengingat maut dan menganjurkan untuk menziarahi pekuburan. Bukan untuk meminta, tetapi guna mengingatkan bahwa suatu ketika peziarah pun akan berada di tempat yang sama dan semoga diziarahi pula.

Suatu ketika ada seseorang melihat jenazah sedang diusung. Dia bertanya: “Siapa yang diusung ini?” Seorang bijaksana menjawab: “Dia adalah kita. Dia adalah saya dan Anda!” Memang suatu ketika, kita pun akan mengalaminya. Demikian wa Allâh a‘lam.

19/03/09

Antara Pengamen Dan Caleg

Ya Nabi salam �alaikaYa Rasul salam �alaikaYa Habib salam �alaikaShalawatullah �alaika
Shalawat Nabi, yang tak asing di telinga kaum muslim, itu saya dengar dari bibir seorang pengamen, di Bus AC 76 Ciputat-Senin pada hari Rabu 18/03/'09 ketika saya akan mengikuti acara di YPM BRI Pusat di jln. Sudirman. Pengamen bertopi haji putih dan berambut gondrong itu, mendendangkannya dengan suara pas-pasan plus tajwid yang berantakan. Sepintas, semuanya terlihat biasa-biasa saja. Layaknya pengamen lain, tak tampak sedikitpun tanda-tanda keistimewaan. Tapi jika diperhatikan lebih jauh, apa yang dilakoninya, itu berbeda dengan para pengamen pada umumnya (biasanya mereka lebih suka menyebut diri musisi atau seniman jalanan). Jika umumnya mereka lebih senang menjual lagu-lagu band terkenal, semisal Ungu, Peterpan, Dewa 19, Samson, Nidji, Ada Band, Radja, Ratu, atau sejenisnya, ia justru menawarkan Shalawat Nabi. Dan, jika biasanya simbol agama ini muncul hanya pada bulan Ramadhan, kali ini muncul pada hari biasa. Lalu, apanya yang istimewa? Dengan menyuguhkan simbol agama, dalam konteks ini Shalawat Nabi, ia sebetulnya sedang menebar jaring untuk menangkap simpati penumpang yang kebanyakan kaum muslim. Kemampuan merebut simpati, berarti keuntungan melimpah, tentu secara materi. Dan terbukti, banyak penumpang simpati. Yang awalnya berat, jadi ringan memberi. Yang awalnya berniat memberi Rp. 500, jadi Rp. 1000. Begitu seterusnya. Ini tak lain karena ada simbol suci agama Islam yang disentuh melalui shalawat itu: yaitu Nabi Muhammad Saw. Tentu saja, tak ada larangan mendendangkan syi�ir keagamaan, apalagi Shalawat Nabi. Itu hak asasi. Tapi alangkah indahnya, jika itu dikidungkan di luar wilayah publik. Siapa tahu ada penumpang non-muslim yang tidak nyaman mendengar kidung keagamaan itu, sehingga bisa memantik munculnya fitnah yang akan merusak citra kaum muslim dan Islam itu sendiri. Lebih-lebih, jika syiir keagamaan itu didendangkan (hanya) untuk mencari keuntungan pribadi berupa materi. Ini akan dinilai sebagai �menjual� simbol keagamaan untuk kepentingan duniawi.Di sinilah letak titik temu pengamen ini dengan sebagian (besar) Caleg muslim di negeri ini. Untuk mendapat keuntungan pribadi, keluarga atau kelompok, para Caleg yang pintar-pintar itu tak rikuh �menjual� agama. Di hadapan konstituen misalnya, mereka �mengamen� melalui isu penegakan Syariah Islam (SI), penerapan perda-perda SI, dan sebagainya. Simpati kaum muslim diharapkan diberikan kepada mereka, lantaran isu agama ini. Inilah yang disebut cendekiawan muslim asal Mesir, Muhammad Said al-Asymawi, sebagai gerakan Islam politik (al-islam al-siyasi). Penulis buku al-Islam al-Siyasi ini lantas menyatakan, arada Allah lil al-Islam an yakun dinan, wa arada bih al-nas an yakuna siyasah (Allah Swt sejatinya menginginkan Islam [hanya] sebagai agama. Tapi manusia menginginkan Islam [juga] sebagai sistem politik.� Dan, katanya, Islam politik itu bukan Islam yang sebenarnya, melainkan Islam yang dipolitisasi. Ini sama halnya mengebiri atau mengerdilkan kebesaran Islam itu sendiri. Inilah bahayanya, jika sebagian (besar) politisi muslim kita meletakkan simbol-simbol Islam hanya sebagai barang dagangan, yang selalu bernuansa formalistik bukan substantif. Lihat saja misalnya. Karena sebagian (besar) politisi di negeri ini berorientasi pada keuntungan pribadi, mereka acuh saja, atau pura-pura tidak tahu, disahkannya PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan Anggota Dewan. PP yang disahkan pada 14 November 2006 dan nyata-nyata menciptakan kondisi surga bagi wong elit dan neraka bagi wong alit, ini nyaris tak ada anggota dewan yang mempermasalahkannya. Ini, tak lain, karena PP ini menaikkan gaji berkali lipat bagi pimpinan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh penjuru negeri ini, per awal 2007. Ini berarti keuntungan.Inilah kenyataan yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat kita yang tengah diselimuti duka lara: hilangnya Adam Air,jatuhnya pesawat Lion Air, tenggelamnya KM Senopati, banjir, gempa, tanah longsor, banjir lumpur, angka pengangguran yang terus meningkat dan banyak lagi. Ini sungguh ironis, karena semua yang mereka tawarkan, lagi-lagi ujungnya untuk kepentingan pribadi, termasuk dengan menjual agama yang dilakukan sebagian (besar) politisi kita. Akhirnya, agama layaknya lagu bagi pengamen; didendangkan untuk mendapat keuntungan. Makanya, betul pepeling (peringatan) yang disampaikan dalang wayang suket Ki Slamet Gundono. Para politisi kita seharusnya mengembangkan konsep politik rahmatan lil �alamin, bukan rahmatan untuk diri, keluarga, atau kelompoknya saja. Orientasi politik memang harus manuthun bi al-mashalah, berorientasi untuk kebaikan masyarakat secara umum. Inilah politikus muslim sesungghnya.Untuk itu, jika masih ada politisi muslim yang menjual agama untuk mencari keuntungan, mereka tak ubahnya pengamen yang diceritakan di awal tulisan ini. Keduanya sama-sama menawarkan simbol agama sebagai alat mengambil simpati audiens, yang tujuannya untuk kepentingan pribadi. Bedanya, pengamen hanya mendapat sesuap atau dua suap nasi (dan ini patut dimaklumi), sedang politisi mengeruk ribuan kali lipatnya (dan ini patut disayangkan). Tapi, bahwa politisi seperti ini sebetulnya pengamen dalam arti sesungguhnya, siapa yang membantah? Wa Allah a�lam.[]

11/03/09

Insan Kamil : Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah

Kata Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah membentuk tiga serangkai kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Ketiganya harus sinergi di dalam diri, tidak bisa hanya mengandalkan salah satu di antaranya, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah).Pendahuluan Kata jahada (bersungguh-sungguh) membentuk tiga kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Jihad berarti perjuangan lebih bersifat fisik. Dilakukan secara optimal untuk mencapai suatu tujuan mulia. Ijtihad berarti perjuangan secara intelektual yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan mujahadah adalah kelanjutan dari perjuangan bersifat otot dan otak, yaitu perjuangan batin atau rohani. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup yang sejati atau paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah-satu di antara ketiga kualitas perjuangan tadi, tetapi ketiga-tiganya harus sinergi di dalam diri, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah) atau sering dilambangkan sebagai manusia paripurna (insan kamil). Rasulullah sangat terampil di dalam perjuangan fisik, terbukti dirinya sering terlibat sebagai panglima angkatan perang yang sangat disegani oleh kawan dan lawan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki kempuan intelektual yang pikiran-pikirannya berhasil menyatukan bangsa Arab dan menghijrahkannnya dari pola pikir dan prilaku jahiliyyah ke pola pikir dan prilaku islamiyyah yang humanis dan madani. Jihad yang sesungguhnya adalah perpaduan antara ketiga konsep tersebut. Jika jihad terpisah dari unsur ijtihad dan mujahadah sesungguhnya tidak layak disebut jihad, mungkin lebih tepat disebut dengan nekat, dan korbannya tidak dapat disebut syuhada, bahkan mungkin hanya bisa disebut mati konyol. Allah Swt mengecam keras orang-orang yang mati konyol, yaitu orang-orang yang sengaja menceburkan diri ke dalam kebinasaan: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195), Jihad Jihad yang dimaksudkan di sini ialah perjuangan yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan unsur fisik atau otot, meskipun perjuangan non-fisik juga masuk kategori jihad di tempat lain. Jihad secara fisik tidak mesti harus diukur kemampuan seseorang untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam, tetapi juga melakukan berbagai usaha secara fisik untuk terwujudnya keadilan, keamanan, keselamatan dan ketinggiian martabat manusia juga termasuk jihad. Bahkan menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk cabang dari jihad, kata Rasulullah Saw. Medan jihad di sekitar kita semakin banyak, meskipun musuh-musuh dari kaum kafir secara fisik tidak tampak. Semua kondisi dan keadaan yang menindas dan mereduksi hak-hak asasi manusia dapat dijadikan sebagai medan jihad. Kebodohn, kemiskinan, rasa takut, kondisi kesehatan masyarakat yang rendah, berbagai penyakit yang mewabah, dan semacamnya, juga menjadi lahan jihad yang tak kalah mulianya dengan menghadapi musuk dari kaum kafir. Jihad yang dilakukan harus dengan niat luhur lalu dipadu dengan taktik, cara, dan strategi yang benar dan tepat. Jihad tidak boleh kontra-produktif. Jihad yang dilakukan Rasulullah selalu mendatangkan manfaat yang lebih besar dengan resiko yang sangat minim. Rasulullah memang pernah mengatakan, “suarakanlah kebenaran sekalipun pahit” (qul al-haq walau kana murran), tetapi tidak boleh karenanya menyebabkan kita menjadi korban, sebagaimana disebutkan ayat di atas. Jihad yang dilakukan tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Mungkin lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad). Banyak contoh dalam Al-Qur’an dan dalam sejarah umat Islam, bahwa tidak sedikit orang yang mau berbuat baik tetapi tidak disertai perencanaan yang matang maka hasilnya kerugian. Jihad yang dipimpin Rasulullah selalu berhasil karena beliau tidak pernah mengnyampingkan perhitungan-perhitungan. Jihad demikian inilah yang dijanjikan dalam Al-Qur’an: كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Baqarah/2: 249). Unsur yang harus ada dalam jihad antara lain, adanya keterlibatan fisik di dalamnya, ada perhitungan dan perencanaan yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, harus lebih banyak manfaat daripada mudaratnya menurut ukuran-ukuran universal tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah). Ukuran-ukuran subyektif di dalam menjalankan peran jihad amat riskan. Jihad yang berskala masif yang melibatkan banyak orang membutuhkan organisasi dan mmanajemen. Sebab jika tidak, maka jihad akan menjadi riskan dan penuh dengan resiko yang bisa merusak sesuatu yang sudah mapan dan produktif. Rasulullah sendiri berkali-kali melakukan taktk langka mundur, misalnya erpaksa melakukan hijrah demi untuk menyusun strategi selanjutnya. Jadi hijrah bukan tindakan pengecut yang meninggalkan jama’ah untuk menyelamatkan diri, tetapi yang demikian itulah yang harus dilakukan dalam upaya mencapai kemenangan. Unsur lain yang harus ada dalam jihad ialah motivasi kuat yang didorong oleh niat tulus hanya untuk Allah Swt. Tanpa niat dan motivasi ini jihad sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Mungkin secara fisik berhasil, misalnya menaklukkan musuh, tetapi harus pula berhasil di sisih Tuhan yang diukur berdasarkan niat suci tadi. Dalam konteks individu, setiap orang harus melakukan jihad sesuai dengan kadar kemampuan dan menurut kekhususan yang Allah berikan kepadanya. Setiap orang pasti memiliki kekhususannya masing-masing dan kekhususan itu perlu disampaikan atau dibagikan kepada orang lain yang mungkin membutuhkannya. Ijtihad Ijtihad di sini diartikan perjuangan secara intelektual seseorang. Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Unsur-unsur yang harus dipenuhi seseorang baru dapat disebut mujtahid tergantung dalam berbagai konteks. Dalam konteks fikih, seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, ‘Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, muslim, dan praktisi muslim. Dalam konteks sosiologi Islam, seorang mujtahid difigurkan sebagai seorang yang mampu memberikan sumbangan intelektual dalam membela dan mengangkat derajat umat Islam dalam berbagai segi. Seorang ilmuan muslim yang ahlin dalam bidang ekonomi dapat menyumbangkan konsep-konsepnya dalam memberantas kemiskinan umat, seorang fisikawan muslim dapat menyumbangkan teknologi perang untuk kejayaan umat manusia, seorang ahli obat-obatan dapat menyumbangkan ramuan dan resep untuk kesehatan manusia, dan seorang dokter muslim dapat mengupayakan penyembuhan pasien dengan cara-cara islamami dan seterusnya. Ijtihad dan jihad masing-masing memiliki kekhususan. Kalau jihad perjuangan yang dilakukan lebih bersifat temporer, tergantung suasana dan intensitas tantangan, sedangkan perjuangan melalui ijtihad relatif lebih panjang, terutama jika diukur semenjak seseorang menuntut ilmu pengetahuan, maka profesinya kemudian diabdikan ke dalam masyarakat. Perjuangan melalui ijtihad lebih bersifat strategis dan berjangka panjang. Sementara perjuangan melalui jihad lebih berjangka pendek. Kesulitan yang dihadapi antara keduanya tergantung kondisi yang dihadapi. Boleh jadi tingkat kesulitan dan tantangan jihad lebih berat, terutama di waktu kekacauan dan peperangan. Akan tetapi perjuangan ijtihad dituntut lebih banyak di masa damai, terutama untuk memikirkan kualitas hidup umat yang lebih layak. Dari segi peralatan juga berbeda. Seorang mujahid mungkin lebih banyak membutuhkan alat-alat fisik, seperti persenjataan atau alat-alat bangunan, tetapi seorang mujtahid lebih banyak membutuhkan fasilitas dan institusi sebagai arena untuk melahirkan konsep-konsep kesejahteraan umat. Seorang mujahid tidak lebih baik daripada mujtahid. Nabi secara arif pernah mengatakan: “Goresan tinta pena para ulama lebih mulia daripada tetesan darah para syuhada”. Sebaliknya orang yang hanya memiliki kemampuan otot maka jihad baginya adalah perjuangan yang paling istimewa. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, “tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga”, kata Rasulullah Saw. Dalam konteks individu, setiap orang dikaruniai akal pikiran. Dengan akal pikiran inilah yang akan membedakan manusia dengan binatang atau makhluk Tuhan lainnya. Akal pikiran yang akan mengorbitkan manusia ke martabat kemnusiaan lebih tinggi. Semakin tinggi kemampuan untuk mendayagunakan akal pikiran ini maka yang bersangkutan akan semakin berpotensi untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah Swt, sebagaimana firmannya: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Q.S. Fathir/35:24). Mujahadah Mujahadah ialah perjuangan dengan mengerahkan energi spiritual. Kalau para mujahid mengandalkan ototnya dan para mujtahid mengandalkan otaknya, maka yang diandalkan di dalam mujahadah ini ialah kekuatan batin, yakni kemampuan untuk melakukan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Doa sang kekasih Tuhan (muqarrabin) berpotensi melahirkan keajaiban yang boleh jadi sulit dicapai oleh mujahidin dan mujtahidin. Mujahadah merupakan kelengkapan dari jihad dan ijtihad. Seseorang bisa mengimplementasikan secara terpadu jihad, ijtihad, dan mujahadah di dalam dirinya. Bahkan orang-orang seperti inilah yang berpotensi menjadi manusia paripurna, seperti dikatakan oleh Al-Jilli. Insan Kamil ialah manusia yang sudah sampai kepada puncak perjuangan. Insan Kamil ini merupakan dambaan setiap orang. Ciri-ciri insan kamil ialah orang-orang yang secara horizontal berhasil menjadi khalifah dan secara vertikal berhasil juga menjadi hamba (’abid). Orang ini telah berhasil menjalin relasi yang sangat harmonis, bukan hanya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan sesama makhluk lainnya, tidak terkecuali benda-benda alam. Untuk sampai ke tingkat ini memang memerlukan tahapan kesungguhan dari olah fisik, olah nalar, sampai kepada olah batin. Kelompok inilah yang mendapatkan keistimewaan khusus dari Allah Swt sebagaimana dalam firmannya: وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-’Ankabut/29:69).

03/03/09

Ponari Dan Cermin kemiskinan

Mohammad Ponari (9 tahun), anak SD kelas 3, warga dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tiba-tiba saja menjadi “Dukun Tiban” (jadi dukun mendadak). Dengan berbekal “batu ajaib”, ia mengobati pasiennya dengan cara mencelupkan batu saktinya ke segelas air lalu si pasien disuruh meminumnya, dan konon sang pasien merasa sembuh. Ada kalanya Ponari melakukan pijatan ke tubuh pasien yang mengalami kelumpuhan. Sejak namanya tenar sebagai “juru penyembuh”, rumahnya dibanjiri puluhan ribu calon pasien yang tumpah ruah datang ke dusunnya. Bagaimana awal mulanya Ponari mendapatkan batu ajaib itu ? Begini kisahnya, Ponari bermain di bawah guyuran air hujan dan petir menyambar-nyambar di atasnya. Tiba-tiba tubuh bocah itu kemasukkan hawa panas, seperti batu terkena sambaran petir. Saat itulah di bawahnya muncul batu sebesar kepalan tangan, berwarna kehitaman. Batu ini, oleh Ponari dibawa pulang. Oleh neneknya, batu itu sempat dibuang. namun konon batu itu muncul kembali ke rumahnya. Awal mula Ponari bisa mengobati orang sakit, terjadi setelah salah seorang tetangganya menderita sakit. Tanpa sadar, Ponari memberi minuman air putih yang telah dicelupi batu temuannya itu. Menurut pengakuan warga dusun itu, orang yang diberi minuman Ponari itu bisa sembuh. Peristiwa ini menjadi bahan pembicaraan warga dusun. Ceritera “kesaktian” Ponari ini akhirnya menyebar dari mulut ke mulut ke berbagai tempat. Puluhan ribu orangpun kemudian berbondong-bondong ke rumah Ponari untuk memperoleh pengobatan air celupan batu. Kebanyakan yang menyerbu ke rumah Ponari adalah kalangan orang-orang miskin, walaupun ada juga orang kaya yang ikut nimbrung terutama yang frustasi karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter. Kerumunan puluhan ribu pasien yang saling desak mendesak mengantri ke rumah Poniri, akhirnya meminta korban 4 orang tewas. Peristiwa ini mendorong Muspida Kabupaten Jombang menghentikan praktek pengobatan Ponari sejak 12 Februari 2009 lalu untuk selamanya. Adakah pasien yang sembuh, dan apakah ia benar-benar sembuh ataukah hanya sugesti ? Ada yang menyatakan sembuh, tapi banyak yang menyatakan tak ada perubahan sama sekali. Fenomena apakah peristiwa Ponari ini? Fenomena Ponari adalah cermin kemiskinan dari masyarakat. Masyarakat miskin sekarang ini tak mampu berobat ke dokter maupun ke rumah sakit yang biayanya terasa amat mahal. Disamping itu pelayanan kesehatan yang murah dari pemerintah belum memenuhi kebutuhan masyarakat bawah, terutama di dusun-dusun. Maka tak heran jika masyarakat miskin maupun masyarakat yang tingkat ekonominya belum mapan, membanjiri rumah Ponari untuk mendapatkan pengobatan yang murah dan meriah. Fenomena Ponari juga mencerminkan masih kuatnya orang-orang percaya pada hal-hal yang mistik ketimbang hal yang rasional di bidang pengobatan maupun lainnya.